sjracademy – Dalam dunia yang semakin menuntut inklusivitas, penyandang disabilitas tidak bisa lagi dibiarkan berada di pinggiran. Mereka memiliki hak yang sama untuk hidup bermartabat, mandiri, dan berdaya. Salah satu pilar penting dalam mewujudkan hal tersebut adalah peran regulasi dan kebijakan pemerintah. Negara melalui berbagai instrumennya memegang tanggung jawab besar dalam memastikan setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, mendapatkan hak dan akses yang setara—baik di ruang sosial, pendidikan, pekerjaan, hingga layanan rehabilitasi seperti panti disabilitas.
Fondasi Hukum: Komitmen Indonesia terhadap Penyandang Disabilitas
Komitmen Indonesia terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas sebenarnya sudah terikat secara internasional maupun nasional. Sejak meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas PBB (UNCRPD) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, Indonesia telah memiliki dasar hukum kuat untuk memperjuangkan kesetaraan.
Regulasi ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menggantikan UU sebelumnya yang masih menggunakan pendekatan charity (belas kasihan). UU ini merupakan langkah maju karena menggunakan pendekatan berbasis hak asasi manusia dan memperkenalkan istilah “aksesibilitas” serta “akomodasi yang layak” sebagai bagian dari hak dasar.
Dalam konteks panti disabilitas, UU ini menjadi dasar bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam menyusun kebijakan penguatan lembaga sosial yang menangani rehabilitasi dan pemberdayaan penyandang disabilitas.
Panti Disabilitas sebagai Mitra Negara
Panti disabilitas bukan sekadar tempat tinggal sementara bagi penyandang disabilitas, tetapi juga menjadi ruang penting dalam proses pemulihan, pelatihan, hingga reintegrasi sosial. Oleh karena itu, peran negara tidak hanya sebatas mengatur, tetapi juga memfasilitasi dan membina.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan layanan rehabilitasi sosial yang layak. Panti disabilitas menjadi salah satu perwujudan nyata dari komitmen tersebut.
Kementerian Sosial (Kemensos) sendiri mengelola sejumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di berbagai daerah yang menyediakan layanan rehabilitasi dan pelatihan kerja. Selain itu, pemerintah daerah diberi mandat untuk membentuk dan mengelola panti sosial, termasuk yang khusus menangani penyandang disabilitas.
Kebijakan Anggaran dan Dukungan Fasilitas
Tidak bisa di pungkiri bahwa banyak panti disabilitas menghadapi keterbatasan anggaran dan sumber daya. Di sinilah kebijakan fiskal memainkan peran penting. Melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) atau anggaran Kemensos dan Dinas Sosial di daerah, panti disabilitas bisa memperoleh bantuan berupa fasilitas, alat bantu, hingga pelatihan tenaga kerja sosial.
Namun sayangnya, realisasi di lapangan seringkali tidak berjalan optimal. Banyak panti swasta atau non-pemerintah harus berjuang sendiri karena keterbatasan akses terhadap bantuan resmi. Ini menunjukkan bahwa regulasi saja tidak cukup; implementasi dan pengawasan juga harus di perkuat.
Kolaborasi Multisektor: Perluasan Peran dalam Kebijakan
Pemerintah juga mendorong pendekatan multisektor melalui program-program lintas kementerian. Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Ketenagakerjaan memiliki program khusus untuk penyandang disabilitas, mulai dari pendidikan inklusif, pelatihan vokasi, hingga kesempatan kerja yang inklusif.
Panti disabilitas bisa menjadi mitra strategis dalam implementasi program-program ini. Misalnya, melalui MoU (nota kesepahaman) antara dinas sosial dan dinas pendidikan setempat, panti disabilitas bisa menjadi lokasi pelatihan keterampilan sekaligus tempat magang atau praktek lapangan. Ini membuka peluang kolaborasi yang lebih luas dan mempercepat proses pemberdayaan.
Tantangan Regulasi: Dari Kebijakan ke Pelaksanaan
Walau kebijakan sudah cukup progresif, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak panti disabilitas mengeluhkan kurangnya sinergi antara pusat dan daerah, keterlambatan bantuan, atau kendala administratif yang menghambat penyaluran anggaran.
Masih ada pula stigma dari sebagian masyarakat yang menganggap penyandang disabilitas sebagai beban, bukan sebagai individu yang punya potensi untuk berkembang. Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk menyusun regulasi yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga edukatif dan transformatif.
Digitalisasi dan Masa Depan Regulasi
Era digital membawa harapan baru dalam pengelolaan panti disabilitas. Pemerintah telah mulai mengembangkan sistem data terpadu tentang penyandang disabilitas untuk memetakan kebutuhan secara lebih akurat. Melalui Sistem Informasi Penyandang Disabilitas (SIPD), kebijakan bisa lebih tepat sasaran.
Ke depan, kebijakan ideal bukan hanya mengatur keberadaan panti, tetapi juga mendorong pengembangan panti berbasis komunitas, yang lebih fleksibel, partisipatif, dan ramah lingkungan. Negara perlu memberikan insentif bagi swasta dan komunitas lokal untuk turut serta dalam penyediaan layanan bagi disabilitas, tanpa menghilangkan tanggung jawab utamanya.
Regulasi Sebagai Penjaga Martabat
Regulasi dan kebijakan pemerintah sejatinya adalah penjaga martabat bagi setiap warganya, termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas. Panti disabilitas menjadi salah satu instrumen penting dalam memastikan bahwa hak-hak ini benar-benar sampai ke tangan mereka yang membutuhkan.
Namun, regulasi hanya akan menjadi dokumen tanpa makna jika tidak di sertai dengan niat kuat. Implementasi yang adil, dan kolaborasi lintas sektor. Mewujudkan hidup yang setara dan bermartabat bagi penyandang disabilitas bukan hanya tugas panti atau pemerintah semata, tetapi tanggung jawab kolektif kita semua sebagai bangsa yang menjunjung kemanusiaan.